Rabu, 30 Juni 2010

Luisan CukiL Kayu

Mata pisau yang tajam menyelusuri serat kayu dengan ribuan cukilan. Sebuah tekanan pada tangan menghasilkan cukilan yang dalam atau bisa juga berupa torehan kecil bak sebuah goresan pensil. Setiap torehan diperhitungkan kedalamannya karena cukilan dengan kedalaman berbeda akan menghasilkan cetakan yang berbeda. Proses inilah yang biasanya dilakukan berulang-ulang oleh seorang seniman grafis yang menggunakan teknik cukil kayu, sebelum menghasilkan karya akhir berupa hasil cetakan. Tahap proses cetak juga bisa berlangsung berkali-kali. Kadang-kadang hasilnya tak sesuai dengan hasil cukilan, sehingga harus dicukil lagi. Sebuah proses berkarya yang tertahan, butuh waktu lama, dan tak jarang juga menjemukan.

Supangkat Wahyudi, perupa grafis alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, memutus rantai proses yang menjemukan ini menjadi sebuah proses kreatif sekali jadi. Supangkat mengakhirinya pada proses mencukil tanpa proses cetak. Hasilnya, 13 lukisan monokrom di atas kayu tripleks yang rata-rata berukuran besar.

Lukisan cukil kayu Supangkat menggambarkan semua proses awal untuk membuat karya grafis cukil kayu. Penonton serta-merta terserap dalam bayangan ketelitian, ketekunan, dan kesabaran Supangkat. Bayangkan, ia menampilkan potret klasik Monalisa dalam ukuran besar. Cuplikan karya Leonardo da Vinci ini digambarkan sedang menggenggam telepon seluler. Sedangkan gambar latar berupa susunan gedung jangkung, dikesankan sebagai obyek yang berada di luar titik fokus pandangan. Komposisi obyek-obyek yang tak wajar itu digarap dengan citra realitas fotografis. Tak mengherankan kalau Supangkat butuh waktu delapan bulan untuk menyelesaikan karya ini.

Komposisi bentuk ini mengingatkan pada kecenderungan bahasa ungkap sejumlah perupa kontemporer yang suka mencibir pada kehidupan sosial dengan gaya parodi. "Saya suka mengamati perubahan cara hidup dan gaya hidup masyarakat yang semakin materialistis dan konsumtif," ujar Supangkat, perancang grafis pada biro iklan. Untuk menajamkan unsur parodi pada karyanya, Supangkat sering mengutip idiom populer, misalnya kartu ATM, kartu kredit, burger, tongkat golf. Idiom populer ini kemudian disandingkan dengan gambar yang juga sudah populer, semacam lukisan Picasso berjudul La Guernica (1937), potret Monalisa, atau cuplikan lukisan klasik pada masa romantik.

Pada karyanya berjudul Habis Golf Pastilah Terang, Supangkat mengontraskan kesederhanaan gaya hidup lewat potret diri R.A. Kartini dengan materialisme. Di kedua tangannya yang dibalut sarung tangan kulit ini terselip tongkat golf. Pada gambar latar terlihat landskap padang golf yang rindang dengan seorang laki-laki sedang mengayunkan tongkat golf .

Supangkat juga suka bermain-main dengan tema kontekstual pada masanya, sebagaimana yang terlihat pada karya bertajuk Musyawarah Mufakat untuk Menjilat Bersama, yang dibuat pada 1995, atau Tiga Wanita Berdialog tentang Tinggal Landas, yang dibuatnya pada 1997, dan yang terbaru berjudul Kutahu yang Kau Mau, Kata Franklin. Supangkat mengangkat krisis moneter lewat simbol tiga mata uang, yakni potret wajah Benyamin Franklin di atas uang US$ 100, potret wajah Ratu Elizabeth dengan bibir tersungging pada mata uang poundsterling, dan potret Sultan Hamengku Buwono IX pada lembaran Rp 10 ribu dengan mata melirik. Dengan sangat mahir Supangkat memainkan pisaunya menggarap pola garis yang rumit.

Lukisan cukil kayu yang terlihat sangat rumit ini sebenarnya lahir dari konsep sederhana. Supangkat hanya melabur permukaan kayu dengan tinta cina hitam. Teknik ini banyak digunakan seniman "pencukil kayu" untuk memudahkan melihat hasil akhir sebelum dicetak. Tapi Supangkat justru memanfaatkan teknik ini sebagai teknik pewarnaan. Warna terang berupa warna asli kayu muncul dari cukilan yang melebar, sedang susunan cukilan yang menyempit menghasilkan warna tengah dan cenderung gelap. Karya Supangkat ini merupakan cermin kecerdikan menyiasati hambatan teknik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar