Selasa, 13 Juli 2010

DAFTAR LUKISAN TERMAHAL DI DUNIA

Salah satu lukisan Pablo Picasso mencetak rekor baru untuk karya seni paling mahal dalam lelang dengan laku $106 juta. Lukisan seniman Spanyol berjudul Nude, Green Leaves and Bust laku dalam lelang di Christie’s, New York. Karya tahun 1932 tersebut milik mendiang kolektor dari Los Angeles Frances dan Sidney Brody sejak tahun 1950-an. Tawaran yang menang diajukan oleh peserta lelang yang namanya tidak disebutkan melalui telefon.

Hasil ini memecahkan rekor yang dicetak oleh Walking Man I karya Giacometti’s Walking Man I, yang terjual bulan Februari dengan harga $104,3 juta. Karya lain Picasso, Garcon a la Pipe, sebelumnya pernah mencetak rekor dengan laku terjual dengan harga $104,1 juta pada tahun in 2004. Nude, Green Leaves and Bust diperkirakan akan laku pada kisaran $70m-$90 juta.

Harga pemecah rekor, yang mencakup komisi Christie’s, dianggap menjadi pertanda bahwa pasar seni telah mulai pulih dari krisis keuangan dunia. “Keluarga Brody membeli karya ini pada tahun 50-an. Karya ini hanya dipamerkan sekali pada 1961,” kata Conor Jordan, pimpinan departemen impresionis pada Christie’s, seperti dikutip “BBC”.

Lukisan-lukisan yang sangat mahal apabila berpindah tangan selalu dijual melalui lelang barang berharga seperti di Sotheby’s atau Christie’s.
Sebagian besar dari lukisan-lukisan yang paling terkenal didunia dimiliki oleh musium, yang sangat jarang mereka jual kembali. Apabila terjadi penjualan oleh musium, biasanya harganya setinggi langit.

Misalnya lukisan Mona Lisa akan dijual, maka harga jualnya akan berada jauh diatas harga lukisan-lukisan pada daftar berikut.
The Guinness Book of Records menempatkan Mona Lisa dengan nilai asuransi tertinggi bagi sebuah lukisan sepanjang sejarah. Nilai asuransinya ditetapkan sekitar US$100 juta pada tanggal 14 Desember 1962, sebelum lukisan tersebut dibawa berpameran keliling USA untuk beberapa bulan lamanya.

Apabila inflasi diperhitungkan, harga ini akan melonjak diatas US$670 juta (6,7 Triliun Rupiah) pada tahun 2006.
Musium Louvre di Paris, tempat dimana sekarang Mona Lisa berada lebih memilih untuk menghabiskan banyak dana untuk keamanan penyimpanan lukisan yang sangat luar biasa ini, daripada menjualnya.

Daftar harga tertinggi hasil lelang lukisan

1. “Garçon à la pipe” oleh Pablo Picasso
Terjual dengan harga US$104.1 juta pada tanggal 4 Mei 2004 di Sotheby’s, New York (Nilai sekarang: US$106,910,700.00)
2. “Portrait of Dr. Gachet” oleh Vincent van Gogh
Terjual dengan harga US$82.5 juta pada tanggal 15 Mei 1990 di Christie’s, New York (Nilai sekarang: US$116,793,226.33)
3. “Bal au moulin de la Galette, Montmartre” oleh Pierre-Auguste Renoir
Terjual dengan harga US$78 juta pada tanggal 17 Mei 1990 di Sotheby’s, New York (Nilai sekarang: US$110,422,686.71)
4. “Irises” oleh Vincent van Gogh
Terjual dengan harga US$49 juta pada tanggal 11 November 1987 di Sotheby’s, New York (Nilai sekarang: US$78,402,796.71)
5. “Massacre of the Innocents” oleh Peter Paul Rubens
Terjual dengan harga UK£49.5 juta (US$76.7 juta) pada tanggal 10 Juli 2002 di Sotheby’s, London (Nilai sekarang: US$77,927,200.00)
6. “Les Noces de Pierrette” oleh Pablo Picasso
Terjual dengan harga US$49 juta pada tanggal 30 November 1989 (Nilai sekarang: US$72,697,766.77)
7. “Portrait de l’artiste sans barbe” oleh Vincent van Gogh
Terjual dengan harga US$65 juta pada tanggal 19 November 1998 di Christie’s, New York (Nilai sekarang: $71,691,040.02)
8. “Rideau, Cruchon et Compotier” oleh Paul Cézanne
Terjual dengan harga US$60.5 juta pada tanggal 10 Mei 1999 di Sotheby’s, New York (belakangan dijual kembali dengan rugi)
9. “Femme aux Bras Croisés” oleh Pablo Picasso
Terjual dengan harga US$50 juta pada tanggal 8 November 2000 di Christie’s, New York (Nilai sekarang: US$52,851,507.20)

Kamis, 08 Juli 2010

LUKISAN DEKORATIF


Dalam perencanaan renovasi sekarang metode yang sangat relevan dari berbagai jenis lukisan dekoratif: sebuah razmyvki metode, metode aditif, pewarna menggunakan template, garis warna.
Banyak orang memilih lukisan dekoratif, karena relatif murah dan mudah metode. Pola oleh roller adalah salah satu metode yang paling cepat dan sederhana. Lapisan cat diterapkan dua kali, kemudian pada permukaan yang basah di horizontal dan menerapkan pola vertikal rol khusus.

Metode suplemen alat dasar spons dan kain, dan kuas. Dalam latar belakang disusun diterapkan oleh sikat atau dengan menekan atau menggosok cat warna lain sedemikian rupa jadi latar belakang harus tetap terlihat sebagian. Anda dapat menerapkan pola di dinding atau sekarang mereka sebagai perbatasan.

Jika Anda ingin menghidupkan interior Anda dengan rincian berwarna-warni cerah sana Anda harus menggunakan template. Template dapat memproduksi sendiri dan dengan dinding mereka dicat seluruh atau membuat gambar yang terpisah. Dengan menggunakan metode pewarnaan garis, Anda dapat membuat desain dalam bentuk vertikal, garis horizontal atau miring, garis atau sel. Alat kerja dasar di sini adalah plester, yang harus sangat berhati-hati.

Menggunakan metode "kutu Warna" Anda dapat memberi Anda gaya dinding ringan dan lapang. Ketika menerapkan menggunakan campuran air, cat berbasis air, "Lasserre". Hanya ketika teknik keinginan Anda dapat mencampur dan dengan demikian cukup mendapatkan hasil yang baik. Untuk mudah menjadi terkontaminasi permukaan adalah kombinasi sempurna dari garis ketat berdasarkan template gambar dan warna-kutu. " Setelah mengotori bagian bawah permukaan dapat digunakan metode razmyvki, dengan dinding akan terlihat lebih indah.

Sekarang Anda dapat dengan aman mengambil perbaikan dan untuk memastikan bahwa rumah Anda akan menjadi unik dan tak ada bandingannya. Jangan takut untuk bereksperimen, membuat template, ingat, Imajinasi Anda akan dinilai berdasarkan merit.
Bookmark and Share

Rabu, 07 Juli 2010

MISTERI DIBALIK LUKISAN MONALISA


Sejumlah ilmuwan Jerman yakin telah berhasil memecahkan misteri di balik lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci.
Lisa Gherardini, istri saudagar kaya Florentine, Francesco del Giocondo, selama ini diyakini sebagai perempuan yang paling mungkin menjadi model lukisan potret abad 16 itu. Namun para ahli sejarah menduga-duga, perempuan tersenyum itu bisa jadi kekasih, ibu atau da Vinci sendiri.
Sekarang, para ahli di Perpustakaan Universitas Heidelberg mengatakan catatan yang ditulis di pinggiran buku oleh pemiliknya, Oktober 1503, membuktikan bahwa Lisa del Giocondo adalah benar-benar model lukisan paling terkenal di dunia itu.
"Semua keraguan tentang identitas Mona Lisa tersingkir dengan penemuan Dr Armin Schlechter, a manuscript expert," demikian pernyaatan Perpustakaan Universitas Heidelberg, Senin (14/1).
Sejauh ini hanya sedikit bukti yang tersedia dari dokumen-dokumen abad 16. Akibatnya ruang interpretasi terbuka luas dan banyak identitas yang dilekatkan pada Mona Lisa.
Catatan di buku itu dibuat oleh pejabat kota Florentina, Agostino Vespucci, teman dekat da Vinci dalam sebuah koleksi surat oleh orator Rowami, Cicero. Catatan itu membandingkan da Vinci dengan seniman Yunandi Apelles dan menyebutkan bahwa da Vinci saat itu membuat tiga lukisa, salah satunya potret Lisa de Giocondo.
Para pakar seni yang telah menentukan tahun pelukisan Mona Lisa, mengatakan penemuan Heidelberg itu merupakan terobosan penting dan penyebutan awal yang menghubungkan dengan potret istri saudagar itu.
"Tidak perlu ada lagi alasan untuk menyebut ini perempuan lain," kata Frank Zoellner, sejarawan seni dari Universitas Leipzig kepada sebuah radio di Jerman.
Nama Lisa Gherardini sebenarnya sudah dihubungkan dengan lukisan itu sejak 1550 oleh Giorgio Vasari, seorang pejabat Italia, namun pernyataan diragukan karena dibuat lima dekade setelah lukisan itu dibuat.
Catatan di Heidelberg itu sebenarnya sudah dua tahun lalu ditemukan oleh Schlecter. Meski sudah tercantum dalam katalog, namun temuan itu tidak dipublikasikan secara luas sampai seorang penyiar radio Jerman membuat rekaman di perpustakaan itu.
Lukisan yang kini dipajang di Museum Louvre Paris itu juga dikenal dengan sebutan La Gioconda, yang dalam bahasa Italia berarti perempuan yang gembira. Namun bisa juga merujuk pada nama hasil perkimpoian perempuan itu.

Selasa, 06 Juli 2010

LUKISAN KALIGRAFI


A Mustofa Bisri

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi. Menurut Hardi, kedatangannya di samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias. Namun, ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan khususnya seni rupa. Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya. Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang-meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama seni rupa. ***RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu, lalu katanya, “Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?” Ustadz Bachri tersenyum, “Itu rajah. Saya yang menulisnya sendiri.” “Rajah?” “Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah penangkal jin.” “Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?” Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu. “Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur sedikit dengan minyak za’faran. Katanya minyak itu termasuk syarat penulisan rajah.” “Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.” “Saya? Saya melukis kaligrafi?” katanya sambil tertawa spontan. “Tidak. Saya serius ini,” tukas tamunya, “sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. (“Ini apa pula maksudnya?” Ustadz Bachri membatin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya!” Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk. Setelah tamunya itu pergi, dia benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan kuas. Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk “sanggar melukis”. Mungkin tidak ingin diganggu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali. “Ternyata sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika dalam hati, “enakan menulis pakai kalam di atas kertas.” Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran. Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”. Ketika sang kurir menanyakan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi kemudian dia hanya mengatakan terserah. “Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah dia!” katanya. Dia sama sekali tidak menyangka. ***MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak. Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan. “Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?” Sampai akhirnya, ketika acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya “Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi standar.” Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang memperhatikannya. “Lha ini dia!” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu banyak orang, “Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya, “Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan.” Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila! “Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;” tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya, “apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!” Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya, “Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!” “Katanya, Anda baru kali ini ikut pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang merah padam, “teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.” (“Melukis dari dalam? Apa pula ini?” pikirnya) Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa? Besoknya hampir semua media massa memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas kosong! Beberapa hari kemudian, beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja. Ketika makan siang, istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan alifnya itu pula. “Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!” teriaknya kesal. “Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian mahalnya?” tanya anak sulungnya. “Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?” tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya, “mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?” Istrinya juga tidak mau kalah rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya. “Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?” Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah. “Begini,” katanya sambil menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian, “terus terang saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.” “Saya sendiri baru menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus.” “Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?” Ustadz Bachri berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, “Ketika saya sudah siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini, lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja.” “Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?” sela si bungsu. “Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu.” “Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya,” tukas istrinya, “sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?” “Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya tak tampak ketika difoto.” Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak.

Kamis, 01 Juli 2010

Lukisan ReaLis Ratu KiduL & Dunia Mitos Kita


Catatan: Agak mustahil bagi anak Jawa untuk tak mengenal atau tak pernah dengar sama sekali tentang mitos yang sangat melegenda : Nyi Roro Kidul. Setidaknya dari yang saya alami sendiri, ada tiga episode berbeda dalam pikiran dan perasaan saya, yang merupakan proses belajar dan pencerahan diri dalam menyikapi ‘keberadaan’ Nyi Roro Kidul.

Ketika masih bocah , ditanamkan dalam benak saya bahwa Nyi Roro Kidul adalah sosok yang sangat menakutkan, penculik anak, pembawa sial, penebar penyakit, pertanda kematian, pencabut nyawa dan masih banyak lagi predikat negative lainnya yang seram-seram. Sosok yang muncul dalam gambar pikiranpun jadi sangat menyeramkan, seperti tampilan nenek sihir dalam dongeng dan diiringi para tentara lelembut yang ganas menyeramkan.
Beranjak muda remaja, mulai muncul gambaran Nyi Roro kidul yang cantik tapi masih tetap dengan sifat yang menakutkan...Bayangan tentang sifat yang menakutkan inipun berangsur menipis, bahkan sosok Nyi Roro Kidul sendiri berangsur hilang (bukan terhapus), sembunyi dari pikiran sadar. Hal ini terjadi bukan karena “ngerti”, atau dapat info yang benar, tapi lebih karena dilawan dan ditekan keras oleh rasio, dan ‘akal sehat’ yang (seolah) ‘selalu menang dan benar’ dengan mengatakan :”.. ah itu kan hanya mitos yang dibuat untuk tujuan politis...”
Setelah lewat waktu panjang, secara kebetulan dan tak sengaja, sering kontak dengan orang-orang yang “ngerti”dunia lain, maka mulai terbuka hati ini. Saya menjadi tahu bahwa ada dua sosok yang berbeda, Nyi Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul.

Konsep Lukisan:
Beliau Kanjeng Ratu Kidul adalah seorang Ratu yang sangat cantik jelita, seorang wanita sakti yang baik hati, mempesona, berakhlak mulia, lurus dan kuat keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan Sang Ratu yang mulia dan mempesona ini menarik perhatian bangsa lelembut /makhluk halus/ jin. Mereka menilai beliau akan mampu memimpin, mengajari, mengarahkan bahkan menyelamatkan mereka sampai ke akhirat, saat kiamat nanti. Merekapun bersepakat memohon beliau untuk menjadi Ratu mereka. Dengan ikhlas beliau menerima dan berpindah dari alam manusia ke alam gaib di laut selatan.. Maka jadilah Kanjeng Ratu Kidul yang mulia ini menjadi penguasa para lelembut , bertahta di Laut Selatan…

Sedangkan yang selama ini membuat citra negative dengan isu-isu menakutkan adalah sang patih / senopati Kanjeng Ratu Kidul yang ber nama Nyi Roro Kidul, atau pengikut dan peniru yang lain yang ngaku-aku. Karena (mungkin) itu memang ‘tugas asli’ kaum mereka, menyesatkan manusia yang ‘sengaja minta disesatkan”… entahlah …wallahu alam.

SENI RUPA MURNI (SENI LUKIS)

Mengekspresikan pikiran dan atau perasaan melalui sebuah lukisan atau gambar adalah sangat mungkin. Seorang seniman apakah ia pelukis, pematung maupun pegrafis sejati tidak lepas dari aktifitas ini, mereka senantiasa mengekspresikan ide-ide mereka ke dalam sebuah karya. Mereka mencari ide dan bentuk baru untuk karya mereka, sebagai konsekuensi tuntutan kreatifitas. Tujuan utama berkaryanya semata-mata untuk ekspresi dan estetika yang mereka perjuangkan, jadi ketika berkarya seniman tidak dibebani oleh tuntutan/keharusan apakah karya yang sedang dibuat itu akan disenangi orang atau tidak…. akan laku atau tidak…. Dengan kata lain ketulusan dan kemurnian hati melandasi ekspresi mereka.

Dalam tataran klasifikasi seni rupa, aktifitas seniman tersebut dibingkai dalam frame yang disebut ”seni rupa murni”.

Lantas, apa hubungan semua itu dengan pembelajaran seni rupa di kelas? Nah, di sini saya ingin berbagi tentang proses pembelajaran seni rupa murni (seni lukis) di SMP tempat saya mengajar.

Dalam pembelajaran ini saya membaginya dalam beberapa tahap. Tahap pertama, penjelasan tentang konsep seni rupa murni (penekanan pada seni lukis). Tahap kedua, siswa menentukan tema/topik yang akan diangkat ke dalam lukisan yang akan mereka buat, dalam hal ini siswa di arahkan untuk menggali tema-tema lingkungan hidup, ini saya lakukan sebagai upaya mengkaitkan pembelajaran seni rupa dengan pendidikan lingkungan hidup. Tahap berikutnya adalah menyusun konsep penciptaan lukisan secara tertulis. Konsep penciptaan ini ditulis dalam sistematika penulisan sederhana, yang terbagi dalam beberapa bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian konsep penciptaan dan bagian penutup. Tahap penulisan konsep penciptaan ini dilakukan pertahap dan melalui proses pembimbingan per kelompok, ini saya lakukan supaya siswa benar-benar paham dengan apa yang akan mereka sampaikan lewat sebuah lukisan. Setelah konsep penciptaan selesai, tibalah saatnya untuk berekspresi…. yaitu tahap pembuatan lukisan atau berkarya.

Karena konsep penciptaan sudah disusun terdahulu, maka siswa tidak terlalu mengalami kesulitan dalam hal-hal teknis, seperti penentuan bahan, alat, teknik serta subjek matter lukisan. Dalam berkarya, saya membebaskan siswa dalam berekspresi dan menentukan bentuk-bentuk mereka sendiri. Satu hal yang sering saya tekankan adalah bahwa tidak ada satu siswapun yang tidak berbakat, semua siswa adalah berbakat. Tinggal apakah mereka memiliki keberanian atau tidak untuk mengekspresikannya.

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari proses pembelajaran ini antara lain, pertama siswa merasa lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, karena mereka sedari awal berperan aktif dalam menentukan arah karya seni lukis yang akan dibuat. Dengan adanya kebebasan dalam membuat bentuk, siswa lebih percaya diri mengekspresikan ide-ide mereka.